Layanan rumah sakit di Indonesia cenderung untuk kalangan menengah ke bawah, sehingga aspek kualitas pelayanan mempengaruhi pasien memilih rumah sakit untuk berobat. Karena segmen layanan kesehatan rumah sakit pemerintah untuk kelas menengah ke bawah berakibat menjadikan rumah sakit yang murah serta bermutu. Kondisi tersebut membuat rumah sakit harus dituntut untuk melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dengan keterbatasan sumber dana. Oleh karena itu, dibutuhkan manajerialisme dalam organisasi rumah sakit agar bisa menghasilkan jasa yang memiliki kualitas yang lebih baik. Istilah Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) mulai diketahui pada tahun 2004 sebagaimana terdapat pada Pasal 1 UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2005 dan revisi UU Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009 yang mengamanatkan bahwa Rumah Sakit harus menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Penerapan BLUD rumah sakit diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme, mendorong enterpreneureship, transparansi, dan akuntabilitas dalam rangka pelayanan publik. Pada keadaan tersebut rumah sakit memiliki beberapa masalah antara lain rumah sakit diwajibkan menyusun SAK karena dikelola dengan prinsip bisnis. SAP perlu dibuat untuk keperluan konsolidasi dengan pemda. Oleh karenanya BLUD membuat keduanya hal tersebut mengakibatkan rumah sakit tidak mampu menyajikan informasi akuntansi yang komprehensif karena laporan keuangan dihasilkan dari basis yang berbeda. Selanjutnya rumah sakit belum menerapkan fleksibilitas yang diberikan berupa penentuan tarif layanan dan remunerasi. Hal tersebut membuat rumah sakit terlihat masih ragu untuk menerapkan fleksibilitas tersebut. Sumber daya manusia yang memiliki kapabilitas dalam menyusun laporan keuangan walaupun sudah mencukupi namun belum semua memahami prinsip PPK BLUD. Dan tidak semua rumah sakit memiliki tenaga akuntansi sehingga masih kesulitan dalam memahami peran informasi akuntansi dalam pengambilan keputusan.
Tulis Komentar